Ashabul Kahfi

25 04 2009


st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
<!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-ansi-language:SQ;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

Mendoa Usia Mama Wulan

Sudah berapa abad mereka tidak mendengar seruan? Prajurit-prajurit yang berteriak membombardir telinga-telinga awas mereka? Sudah berapa hari langkah mereka lewat dari sergapan? Mereka hanya insyaf bahwa diri mereka baru saja jadi buron; buruan lepas. Dan kini terkurung. Penuh kantuk. Terlelap. Tiada seruan lagi.

Dalam gua seruan mengalunkan lagu ke telinga mereka:

Tidurlah.

Masuklah dalam mimpimu.

Dan tidurlah. Hingga kelak.

Mereka tidak jua pernah menyeru Tuhan lagi. Tiada lapar. Hanya malaikat masih terus berjaga menggelayut di kantung-kantung mata. Tujuh pemuda dijamu mimpi-mimpi; dilipat-lipat abad. Zaman beralih di atas kaki dunia yang bergulir mesra. Mereka masih terlelap. Masuk dalam selimut lebih dalam.Seakan ini hanyalah istirahat pendek. Dari sorban mereka kemudian debu menyerbu sekitar. Negeri mereka. Tiada yang hilang sesuatu apa. Hanya tahun yang alpa mencatat pada buku agenda akan bangun mereka hari ini dari tidur itu.

Kemudian dengan seruan kecil karunia Tuhan dimunculkan. Dalam gua seruan membisik ke telinga mereka:

Bangunlah.

Menyerulah lagi.

Atau rebahlah dalam peluk-Ku

Mereka memilih tidur kembali. Di luar, zaman masih tertatih mengeja. Mereka, tujuh orang itu, telah menamatkan pelajaran mereka. Di hari bangun mereka. Juga anjing kecil teman mereka.

Dan kembalilah pulang.


Ardian, dalam Fajar Kenangan, 20 April 2009





Musik, Kampanye dan Sikap Politik Partai

15 04 2009

<!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-ansi-language:IN;} @page Section1 {size:595.35pt 842.0pt; margin:113.4pt 85.05pt 85.05pt 113.4pt; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

Muh. Ardian Kurniawan

Semenjak pesta demokrasi mulai dibuka pada 16 Maret 2009 lalu, begitu banyak atribut partai menempel di sepanjang jalan dan pohon-pohon, bahkan jauh hari sebelumnya atribut tersebut sudah nangkring lebih dulu. Keindahan, kebersihan, dan kerapian tersedak oleh reklame-reklame dadakan yang bergerombol menghiasi setiap batang pohon, tiang, dan umbul-umbul partai politik juga calon legislatif DPR(D)—caleg DPD nyaris tak pernah tertempel. Gejala itu sudah dimaklumi sebagai bagian dari demokrasi Indonesia dalam menyambut kemeriahan pesta demokrasi lima tahunan ini. Tetapi kesemarakan yang lebih cocok dikatakan kesemrawutan itu terhapuskan kala menyambangi panggung demokrasi milik juru kampanye. Berbagai kata-kata bombastis terlontar. Suara-suara persuasif, bahkan sindiran pada partai lain juga muncul dari panggung-pangung tersebut. Yang paling menarik tentulah suara yang paling bening, suara para penyanyi penghibur massa kampanye dari hingar-bingar suara-suara yang tidak pasti benarnya itu. Mau tidak mau, massa harus disegarkan juga dengan musik, sebab kampanye terkadang memakan waktu seharian. Dengan musiklah mereka melepas penat mereka bergaul dengan debu dan terik yang menyengat.

Fenomena munculnya musik dalam setiap kampanye sudah berlangsung sejak lama. Pada pemilu sebelum pemilu 2009 pun Indonesia sudah akrab dengan kampanye bermusik. Hanya saja mungkin tujuannya kini berbeda. Entah menjual popularitas penyanyi dan grup musik yang ada atau sebuah simbol bahwa politik bisa masuk dan merangkul kalangan mana saja. Yang jelas ini ditujukan selain untuk menghibur juga pastilah untuk menarik perhatian dan minat massa. Sebab kini partai-partai tengah bersaing. Sedangkan jumlah partai cukup banyak pula, 44 partai, meskipun tidak sebanyak pemilu tahun 1999, politik. Sehingga ini juga mempengaruhi masyarakat. Banyaknya jumlah partai yang ditawarkan menyebabkan banyaknya pilihan bagi masyarakat untuk memilih partai mana yang sesuai dengan kemauannya. Jika sudah demikian, maka yang muncul, massa akan terbagi ke banyak partai tersebut yang secara otomatis mengakibatkan semakin berkurangnya jumlah massa di setiap partai. Ini tidak dihitung partai yang mampu mencuri simpati masyarakat mendekati pemilu ini.

Dari sinilah partai bersaing untuk merebut perhatian massa. Musik yang kini tengah menjadi demam menggejala di masyarakat, tak lepas dari perhatian partai politik. Partai politik yang tidak mau kampanyenya sepi, menghadirkan penyanyi-penyanyi yang sudah sering keluar di televisi untuk ikut dalam kampanyenya. Mereka menghadirkan musik dari berbagai aliran, sebut saja pop, rock, gabungan pop-rock, rohani, sampai yang paling tenar di masyarakat kita, musik dangdut. Meskipun ramai, tapi antara massa dengan massa penonton musik menjadi tidak jelas juga. Sebab massa tersebut membaur dalam kampanye tersebut.

Tapi sepertinya ada kejanggalan jika munculnya musik saat kampanye tersebut tujuannya hanya ditafsirkan untuk menjual nama partai dan mencari perhatian massa saja. Banyak hal yang tersembunyi dari menampilkan penyanyi terkenal sampai bisa turun ke panggung kampanye selain sekadar menghibur massa partai. Lihat saja fenomena partai politik yang beramai-ramai membawa artis untuk ikut hadir dalam kampanyenya. Perilaku latah tidak mungkin jauh-jauh dari sikap politis partai-partai tersebut.

Maka yang muncul sebenarnya adalah partai-partai tersebut tengah mencoba bersaing memamerkan diri. Keberanian mereka menyewa penyanyi-penyanyi dan grup band terkenal hingga merogoh puluhan bahkan ratusan juta memiliki maksud lain, yaitu untuk mengatakan bahwa mereka adalah partai yang mampu dari segi finansial karena menyewa penyanyi-penyanyi papan atas. Ini akan mengkooptasi pemikiran masyarakat untuk berpikir tidak mungkin kader-kader dari partai politik itu akan mengkorupsi uang negara.

Dalam hal sikap politis, musik juga dapat dijadikan salah satu bentuk silent act partai politik. Sikap politis ini merupakan bentuk pernyataan nonverbal partai terhadap wacana politik yang tengah marak menjadi bahan pembicaraan di masyarakat.

Seiring dengan berkembangnya wacana seputar UU APP, musik yang semula berposisi netral kemudian dijadikan sebagai media bagi partai politik menunjukkan pernyataan sikapnya terhadap UU APP tersebut. Menyikapi isu tersebut, partai politik terbelah menjadi dua bagian, sebagian mendukung secara penuh putusan berlakunya UU APP, sedangkan yang lain juga ada yang menolak UU APP tersebut. Partai-partai yang cenderung berhaluan plural dan moderat, memilih untuk menolak UU APP tersebut dengan menampilkan artis-artis yang menyanyi sembari bergoyang erotis di atas panggung ketika kampanye. Sedangkan partai yang mendukung UU APP tersebut, memilih menggunakan musik dengan artis yang penampilannya tidak mengundang syahwat, bahkan ada yang sampai menggunakan musik rohani dalam kampanyenya.

Munculnya musik dengan goyangan-goyangan penyanyi yang cenderung erotis ini mengakibatkan banyak massa menjadi tertarik ikut kampanye. Padahal, di antara massa yang hadir ikut juga anak-anak yang secara langsung disuapi nuansa seronok mengarah ke porno itu.

Padahal dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat dengan adanya musik dengan campuran bumbu erotis itu bukannya mendukung proses berdemokrasi bangsa, tetapi malah menjatuhkan moral bangsa. Dengan adanya hal tersebut, kita dapat menilai sendiri. Jika sebelum berkuasa saja partai politik sudah menghalalkan erotisme itu, maka akan lebih parah lagi jika ia nanti dapat berkuasa. Masyarakatlah yang akan menentukan.


e-mail: mido_ardian@yahoo.com





Ekstase Konsumtif

15 04 2009

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

Dalam sajaknya yang berjudul Sajak Anak Muda, Rendra mengatakan bahwa generasi muda manusia Indonesia adalah generasi gagap. Yang karena gagapnya tersebut kemudian lebih banyak untuk bisa melihat dan meniru daripada mencipta. Akhirnya kita menjadi generasi latah. Salahnya, kita masih terlalu dini untuk meniru-niru budaya orang lain.
Oleh karena itu, ketika kebiasaan latah ini sudah menjadi gaya baru manusia Indonesia, ia menjadi begitu superior dan menggeser budaya lokal yang sudah ada. Meskipun sebenarnya mereka yang berlaku latah ini belum memiliki filter untuk menginfiltrasi semua hal yang ditiru itu.
Segala yang datangnya dari Barat adalah baik, dan yang datang dari potensi kearifan lokal masyarakat Indonesia sudah ketinggalan zaman dan jauh terendap di lapisan tanah, menjadi fosil budaya kita. Begitulah kini jargon masyarakat Indonesia. Tetapi, apakah demikian? Hipotesis kita adalah benar untuk situasi ini. Jika kita melihat kondisi masyarakat kita yang kini justru bukannya bersifat produktif, melainkan konsumtif. Dengan konsumtif ini, ada dua sisi yang saling berjalin dan amat kuat mempengaruhi satu dengan lainnya.
Pertama, kita merasa seolah menjadi raja. Ini benar adanya. Masyarakat tidak produktif bukan karena tidak bisa mencipta, tetapi lebih kepada nafsu diri untuk menonjolkan ego mereka. Konsumtif itu bukan sikap yang pasif bagi mereka. Tetapi di situlah letak keaktifan mereka. Mereka aktif membeli segala sesuatu agar tidak tertinggal oleh mode yang sedang up date. Ini berarti mereka mampu. Sehingga konsumtif mereka sebenarnya untuk memperlihatkan kepada yang lainnya bahwa mereka adalah orang yang berpunya. Konsumtif mereka adalah produktif menghadirkan sesuatu bagi diri mereka sendiri.
Tetapi apakah benar selalu demikian? Muncullah pandangan kedua bahwa konsumtif juga merupakan penjajahan. Secara tidak langsung sikap menerima apa yang didatangkan dari luar seolah baik itu membuat produsen apa pun dari pihak luar negeri (taruhlah Barat sebagai contoh) menjadi bersemangat memperdaya mereka kembali. Ketika mereka menerima produk yang satu kemudian menerima pula produk-produk selanjutnya. Maka ada kemungkinan mereka sudah memiliki rasa ketergantungan pada hal tersebut. Dengan demikian, terpasanglah jerat. Dan jika jerat tersebut sudah melekat, maka mereka tidak bisa keluar dari hal tersebut. Lihatlah bagaimana kebudayaan itu sudah benar-benar menghancurkan kehidupan masyarakat. Contohnya, pada anak-anak dan remaja sekarang hanya ada dua hal yang amat mengganggu sekaligus membuat mereka tergantung, yaitu ponsel dan play station. Remaja-remaja kini lebih memilih tidak makan daripada tidak membeli pulsa. Ini di luar kepentingan mereka membeli pulsa untuk hal yang positif. Sementara anak-anak kini begitu asyik duduk di rental-rental play station sampai lupa belajar.
Kosmetik begitu menyiksa wanita-wanita Indonesia. Jika tidak menggunakan alat kosmetik, sudah pasti mereka akan kekurangan kepercayaannya. Seolah wajah mereka tertempel pada alat-alat kosmetik tersebut. Sehingga jika tidak mengunakan alat kosmetik, mereka tidak melihat wajah mereka sendiri. Ini bentuk ketergantungan kita yang mulanya berawal dari sikap konsumtif tadi.
Sekarang hanya ada dua pilihan. Konsumtif atau mengarifi potensi diri untuk memberdayakannya.
Sebenarnya opsi kedua dapat kita ambil sebagai pilihan. Alasan pertama untuk hal ini adalah karena faktor kedekatan. Kedua, ada manfaat yang secara tidak langsung sebenarnya dari potensi-potensi kearifan lokal tersebut yang bisa membentuk karakter masyarakat Indonesia menjadi lebih baik. Permainan rakyat, undak-usuk, aturan dan norma adat yang meskipun terlihat kolot tetapi menyimpan nilai-nilai yang murni dan tulus menampilkan wajah asli bangsa kita. Kesemuanya itu adalah keajegan yang dapat dipahami oleh rakyat. Seharusnya, itulah yang kita berdayakan menjadi elan hidup bangsa ini.





Analisis Lapis Makna Puisi “Doa” Chairil Anwar

3 03 2009

Oleh: Muh. Ardian kurniawan

Doa

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku,

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh

Menyebut Kau penuh seluruh

CahayaMu panas suci

Tinggal kerdip lilin

di kelam sunyi

Tuhanku,

Aku hilang bentuk

Remuk

Tuhanku,

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku,

Di pintuMu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling

(Chairil Anwar: Deru Campur Debu)

Berbicara mengenai lapis makna suatu puisi yang membicarakan tentang unsur intrinsik atau tubuh puisi tersebut, kita tidak bisa terlepas dari unsur yang berada di luar struktur tersebut (unsur intrinsik). Berkaitan dengan puisi Chairil Anwar ini, perlu dijelaskan sedikit mengenai sejarah penulisan puisi ini. Ketika menulis puisi ini, Chairil Anwar melalui aku lirik menceritakan pengalamannya yang telah melakukan suatu dosa atau kesalahan yang membuat ia merasa jauh dari Tuhannya. Tetapi, walau bagaimanapun, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tiada lagi tempat berpaling selain kepada-Nya.

Chairil Anwar mengawali puisinya ini dengan kata Tuhanku. Sama seperti seorang hamba yang bila berdoa sering kali menyebut kata-kata pujian atau apa pun yang berkaitan dengan Tuhannya. Misalnya, dalam agama Islam, sering muncul dalam doa ucapan seperti yaa Allah atau yaa Rabbi. Begitu pula Chairil melalui si aku lirik menyebut Tuhanku. Ini menguatkan judul puisi Chairil Anwar yang memang tengah memanjatkan doa kepada Tuhan aku lirik. Bahkan kata Tuhanku ini diulang-ulang Chairil sampai empat kali dan itu pun selalu berdiri sendiri tanpa didampingi oleh kata-kata lain. Ini dapat berarti dua hal, pertama, Tuhan tidak dapat disejajarkan dengan apa pun. Kedua, untuk memperkuat kekhusyukan aku lirik dalam berdoa.

Dalam termangu

Aku masih mengingat namaMu

Ini menunjukkan keteguhan hati aku lirik yang benar-benar mengingat Tuhannya, walau dalam termangu sekali pun. Untuk memperkuat hal itu, Chairil pun menambahkan biar susah sungguh/ menyebut kau penuh seluruh. Aku lirik, ketika menyebut nama Tuhannya, tak sedikit pun dalam pikirannya terbersit untuk memikirkan hal lain yang dapat merusak kedekatan dengan Tuhannya itu.

Bait pertama puisi ini juga dapat berarti prolog sebuah doa. Mengapa saya katakan sebagai prolog? Dalam setiap doa seorang hamba kepada Tuahnnya, pujian kepada Tuhan biasa diucapkan pendoa. Kembali kita ambil contoh orang Islam. Orang Islam biasa memulai doanya dengan ucapan alhamdulillah yang notabene merupakan pujian kepada Allah. Selanjutnya pendoa mengucapkan pujian-pujian lain dan terima kasih pendoa atas segala yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebuah awal yang mirip basa-basi. Barulah kemudian pendoa mengeluarkan keluhannya dan segala permohonan yang diinginkannya. Rupanya Chairil menghafal tata cara berdoa seperti ini yang merupakan cara berdoa konvensional dan berlaku bagi semua makhluk (manusia) di dunia. Ini dimaksud agar terjalin sinergitas dan kedekatan antara Tuhan dengan hambanya.

Tetapi, benar-benar ingatkah aku lirik pada Tuhannya? Manusia tidak pernah luput dari salah dan dosa. Begitu pula aku lirik. Ia pun pernah melakukan kesalahan yang menurutnya seakan-akan membuat ia merasa jauh dari Tuhannya. Bahkan cahaya Tuhan yang panas suci memancar hanya tinggal kerdip lilin saja pada aku lirik. Tertutup oleh dosa yang telah diperbuatnya itu.

Chairil sadar bahwa akibat dosanya itu ia seakan merasa bahwa ia sudah hilang bentuk dan remuk. Ia tak mengenali dirinya lagi.

Akibat dari perbuatannya itu, ia merasa bahwa dirinya telah jauh dari Tuhannya. Aku mengembara di negeri asing kata Chairil melalui aku lirik, mengenang perbuatannya itu. Asing, karena apa yang dikerjakannya itu bertentangan dengan apa yang sudah diperintahkan Tuhannya.

Akan tetapi, bila sudah begitu, apakah aku lirik akan terus mengurung diri dalam kubangan dosanya? Tidak! Ia harus kembali kepada Tuhannya karena tidak ada tempat berpaling lagi jika bukan padaNya. Oleh karena itu, di akhir puisinya, Chairil menuliskan Di pintuMu aku mengetuk// Aku tidak bisa berpaling.

Memang seperti kita ketahui selama hidupnya, Chairil Anwar dikenal sebagai seorang sastrawan yang bohemian. Artinya, hidupnya terkesan hura-hura. Sehingga dari kehidupannya itu ia merasa bahwa ia telah melakukan kesalahan yang membuat ia merasa jauh dari Tuhannya. Inilah yang melatarbelakangi munculnya sajak Chairil Anwar berjudul “Doa” ini.





ANALISIS LAPIS MAKNA PUISI PADAMU JUA KARYA AMIR HAMZA

3 03 2009

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

PUISI PADAMU JUA KARYA AMIR HAMZAH

Padamu Jua

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Punya rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menusuk ingin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu – bukan giliranku

Matahari – bukan kawanku

(Amir hamzah: Nyanyi Sunyi)

Di antara sastrawan-sastrawan Pujangga Baru, nama Amir Hamzah tentu paling dikenal dalam bidang puisi. Hal ini tidak lepas juga dari gelar yang telah dilekatkan padanya oleh Paus Sastra Indonesia, H. B. Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Melihat salah satu puisi Amir Hamzah berjudul Padamu Jua di atas, kita tidak bisa melepaskannya dari ciri khas Amir Hamzah yang suka mengangkat tema-tema agama. Kesukaannya dengan hal-hal berbau sufistik juga mengingatkan kita pada Hamzah Fansuri, peletak dasar puisi modern di Indonesia.

Padamu Jua adalah puisi yang mengisahkan tentang pertemuan dua orang kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku lirik dengan kekasihnya. Puisi ini banyak menggunakan bahasa simbol dengan konotasi positif, seperti kandil, pelita, sabar, setia, dara. Selain itu banyak juga digunakan kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu, ganas, cakar, lepas, nanar, sasar, sunyi. Kata-kata tersebut dapat membantu kita untuk memahami maksud dari puisi tersebut. Oleh karena itu, saya menafsirkan pertemuan yang dimaksud adalah pertemuan yang abadi, yaitu setelah kematian aku lirik. Sedangkan kekasih yang dimaksud adalah Tuhan aku lirik yang selalu mencintainya walupun aku lirik telah berpaling dari-Nya.

Pada bait pertama, dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa aku lirik merasakan bahwa ia tidak bisa menghindar dari kekasihnya, Tuhannya. Walaupun cinta itu sampai habis terkikis oleh masa dan hilang terbang ke tempat yang antah-berantah, aku lirik tetap tidak bisa melepaskan diri dari kekasihnya. Pulang kembali aku padamu, kata aku lirik dalam salah satu baris puisinya. Bahkan untuk menguatkan keteguhan cinta kekasih aku lirik tersebut, Amir Hamzah menambahkan Seperti dahulu. Ini menandakan bahwa memang cinta yang diberikan oleh kekasih aku lirik tidak dapat berubah. Dan itu tetap dirasakan aku lirik ketika ia melakoni “pulang kembali” tersebut.

Pada bait kedua, aku lirik memperlihatkan bagaimana ketulusan cinta kasih yang diberikan kekasihnya pada dirinya. Cinta yang diberikan kekasihnya diibaratkan sebagai kandil kemerlap dan pelita jendela di malam gelap yang selalu sabar dan setia menanti kedatangan aku lirik dari perginya yang lama.

Namun, di bait ketiga, aku lirik tetap tidak mau mepedulikan kekasihnya itu. Sebagai seorang manusia, ia juga membutuhkan rasa cinta yang berbentuk (rindu rupa). Sedangkan kekasihnya ini adalah sesuatu yang tidak nampak.

Pada bait keempat, aku lirik menumpahkan penasarannya itu dan bertanya, Di mana engkau /rupa tiada/ suara sayup/ hanya kata merangkai hati. Karena yang dicintai adalah Tuhan, maka mata manusia tidak mampu melihatnya. Sehingga rupa pun menjadi tiada. Tetapi bisikan kata-kata selalu dirasakan aku lirik merangkai hatinya untuk meyakini bahwa ia memang tengah mencintai kekasihnya dan kasih itu berbalas.

Pada bait kelima, aku lirik menjelaskan bahwa kekasihnya itu telah menjadi terbakar api cemburu oleh kelakuan aku lirik, yaitu ketika aku lirik meningglkan kekasihnya, sebelum ia melakoni “pulang kembali”nya. Hal ini, menurut aku lirik, mengakibatkan sang kekasih menjadi ganas. Aku lirik melihat bahwa kekasihnya hanya ingin cintanya tak berbagi ke lain hati. Kekasih aku lirik ingin memiliki aku lirik sepenuhnya. Kata mangsa ini menandakan pemaksaan kekasihnya tersebut.

Bait keenam menunjukkan kepasrahan aku lirik karena telah “dimangsa” oleh “cakar” kekasihnya. Ia menjadi nanar dan gila sasar. Tak tahu hendak ke mana. Ia telah buta arah. Dalam bahasa Sasak, biasa dikatakan kebebeng. Karena, biar bagaimanapun, ia menyadari bahwa ia akan berulang (kembali) lagi kepada kekasihnya. ditandaskan lagi, cinta yang diberikan kekasihnya diibaratkan Serupa dara di balik tirai yang seakan-akan pelik menusuk ingin, benar-benar membuat penasaran dan ingin tahu.

Pada bait terakhir merupakan puncak pertemuan aku lirik dengan kekasihnya. ternyata aku lirik mendapatkan bahwa kasih yang diberikan kekasihnya itu sunyi. Sepi, karena ia hanya menunggu seorang diri. Itu dirasakan aku lirik setelah waktu bukan lagi menjadi haknya. Dan matahari bukan lagi menjadi kawannya. Saat aku lirik melakukan “pulang kembali”-nya itu, yaitu ketika aku lirik mengalami kematian.





SASTRA ANGKATAN ’45 (1942—1966)

3 03 2009

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan


1. Latar Belakang

Mungkin sebagian Anda bertanya mengapa tidak dipakai Pujangga Angkatan ’42 untuk menyebut angkatan sastra ini. Alasannya karena golongan ini diberi nama kemudian, yaitu setelah proklamasi kemerdekaan. Usul Rosihan Anwar untuk nama angkatan periode ini adalah Pujangga Angkatan ’45 yang segera mendapat dukungan publik opini, meskipun beberapa kritikus mengkritknya dengan keras. Nama sebelumnya disebut Pujangga Gelanggang, karena mereka menulis dalam rubrik majalah Siasat yang diberi nama rubrik Gelanggang.

Latar belakangnya kita ikhtisarkan sebagai berikut.

  1. Pujangga Angkatan ’45 lahir dan tumbuh di saat revolusi kemerdekaan. Jiwa nasionalisme telah mendarah daging, karena itu suaranya lantang dan keras.
  2. Di zaman Jepang muncul sajak berjudul 1943 dari Chairil Anwar, prosa Radio Masyarakat dari Idrus, dan drama Citra dari Usmar Ismail.
  3. Pada tanggal 29 November 1946 di Jakarta didirikan Gelanggang oleh Chairil Anwar, Asrul Sani,Baharudin, dan Henk Ngantung. Anggaran Dasarnya berbunyi:

Generasi Gelanggang terlahir dari pergolakan roh dan pikiran kita, yang sedang menciptakan manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian dari bangsa kita. Kita hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat lapuk dan kita berani menantang pandangan, sifat, dan anasir lama untuk menyalakan bara kekuatan baru.

  1. Orientasi Pujangga Angkatan ’45 masih ke Barat, namun dalam penyerapan kebudayaan Baratnya ini mengalami pemasakan dalam jiwa, sehingga lahir bentuk baru. Karena itu, plagiat Chairil Anwar atas karya Archibald Mac Leish yang berjudul The Young Dead Soldiers tidak kelihatan, yang menjelma menjadi sajak Krawang—Bekasi. Namun pula di samping itu Chairil Anwar juga banyak berjasa dalam memodernisasi kesusastraan Indonesia, dalam penjiwaannya yang menjulang tajam.
  2. Setelah Chairil Anwar meninggal (Jakarta, 28 April 1949, dikuburkan di Karet), Surat Kepercayaan Gelanggang baru diumumkan dalam warta sepekan SIASAT tanggal 23 Oktober 1950. dokumen inilah yang dijadikan tempat berpaling untuk dasar segala konsepsi nilai hidup dan seni dari Angkatan ’45.

2. Karakteristik Karya Sastra Angkatan ‘45

a. Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang tradisi lama dan menciptakan bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang merdeka.

b. Mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu bahasanya pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia yang sedalam-dalamnya.

c. Ekspresionis, mengutamakan ekspresi yang jernih.

d. Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi.

e. Humanisme universal, bersifat kemanusiaan umum. Indonesia dibawa dalam perjuangan keadilan dunia.

f. Tidak terikat oleh konvesi masyarakat yang penting adalah melakukan segala percobaan dengan kehidupan dalam mencapai nilai kemansiaan dan perdamaian dunia.

g. Tema yang dibicarakan: humanisme, sahala (martabat manusia), penderitaan rakyat, moral, keganasan perang dengan keroncongnya perut lapar.

3. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi

a. Penjajahan Jepang (1942—1945)

b. Proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945)

c. Agresi Militer Belanda I dan II (21 Juli 1949 dan 18 Desember 1948)

d. Penyerahan kedaulatan RI (12 Desember 1949)

e. Gebrakan Chairil Anwar dengan bahasa puisinya yang pendek, padat, berbobot, dan bernas dan struktur puisinya yang menyimpang dari pola sastra sebelumnya.

f. Diumumkannya Surat Kepercayaan Gelanggang pada 23 Oktober 1950.

4. Sastrawan-Sastrawan Angkatan ‘45

Di bawah ini beberapa sastrawan angkatan ’45 beserta karyanya.

a. Chairil Anwar (Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus [1949], Deru Campur Debu [1949], dll.)

b. Idrus (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma [1948], Aki [1949], dll.)

c. Pramoedya Ananta Toer (Cerita dari Blora [1963], Keluarga Gerilya [1951], dll.)

d. Mochtar Lubis (Tidak Ada Esok [1982], Harimau! Harimau!, dll.)

e. Utuy Tatang Sontani (Suling [1948], dll.)

f. Achdiat K. Mihardja (Atheis [1958], dll.), dll.

Selain sastrawan yang disebutkan di atas, masih banyak lagi sastrawan Angkatan ’45 yang belum disebutkan.

5. Relevansi Antara Sastra Angkatan ’45 Dengan Kehidupan Saat Ini

Pada masa kehidupan sastra angkatan ’45, kita ketahui berbagai macam peristiwa terjadi. Hal ini menjadi nilai positif bagi sastrawan untuk berkarya secara bebas dan maksimal. Namun, karya-karya dan peristiwa-peristiwa yang dialami mereka tidak selesai sampai di situ saja karena ada kesamaan antara sastra Angkatan ’45 dengan kehidupan kita saat ini, antara lain sebagai berikut.

a. Pada masa angkatan ’45, Chairil Anwar—si binatang jalang—walaupun melakukan suatu gebrakan dengan bahasanya yang singkat tetapi bernas itu telah melakukan beberapa kebohongan yang membuatnya dicap sebagai plagiator. ia menjiplak puisi The Young Dead Soldiers Archibald Mac Leish dengan menggantinya dengan nama Krawang—Bekasi.

Dalam kehidupan kita saat ini, penjiplakan-penjiplakan karya seperti ini sering terjadi. Salah satu contoh perseteruan antara Ahmad Dhani (Dewa) dengan Yudhistira A.M.N. akibat penjipakan yang dilakukan Dhani terhadap karya Yudhistira, Arjuna Mencari Cinta.

b. Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis yang mengisahkan tentang kebobrokan seorang pemimpin yang dalam karya itu diperankan oleh tokoh antagonis, Wak Katok. Wak Katok dalam karya Mochtar Lubis tersebut diceritakan sebagai pemimpin yang merupakan dukun yang ahli membuat jimat dan juga seorang yang ksatria dan sakti. Namun, pada akhir cerita, kebenaran bahwa Wak Katok adalah seorang dukun sakti tak terbukti. Ini mengindikasikan kebohongan yang dilakukan Wak Katok karena telah menipu masyarakat dengan ceritanya yang telah membunuh tiga ekor harimau hutan. Bahkan Wak Katok sendiri harus rela dibunuh oleh seorang anak muda yang menjadi pengikutnya.

Relevansi karya sastra tersebut dengan kehidupan kita di masa kini adalah banyak pemimpin kita yang akhlaknya bobrok. Mulai dari kebohongan-kebohongan, penyelewengan-penyelewengan, korupsi, hingga kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Bahkan kekalahan Wak Katok oleh pemuda dapat kita analogikan sebagai salah satu bentuk dari kekalahan rezim Soeharto dalam realitanya pada masa sekarang.

Novel Harimau! Harimau! mengajak kita untuk merenungi arti pemimpin yang sebenarnya dan penghentian pe-mitos-an terhadap seorang pemimpin.

c. Pertentangan antara golongan tua dengan golongan muda yang terjadi antara sastrawan Angkatan tua (Angkatan sebelum ‘45) dengan Angkatan muda (Angkatan ‘45). Angkatan ’45 menginginkan sastra Indonesia menjadi bagian sastra dunia yang universal, artinya tidak hanya menjadi konsumsi bangsa Indonesia saja, tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat dunia. Sehingga mereka melakukan perombakan berupa pernyataan yang terkandung dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang juga merupakan konsepsi Angkatan ’45.

Dalam kehidupan saat ini juga ditemukan pertentangan antara kaum tua dan kaum muda. Biasanya yang dipertentangkan adalah masalah budaya. Contoh yang membuktikan hal tersebut terlihat dalam novel karya Putu Wijaya, Putri. Novel itu membahas pertentangan antara dua golongan yang mempertahankan adat lama dengan bentuk baru yang dibawa dan diperkenalkan oleh golongan muda.





Sajak Permengunan

3 03 2009

Aku tak tahu mengapa aku bisa dilahirkan di dunia ini. Tetapi aku tahu mengapa aku sampai berada di sini. Jawabnya: untuk menyaksikan kepalsuan; permainan intelektual yang penuh dengan kebohongan. Kemalasan dosen, pencabulan intelektual, persabungan nilai, penjualan diktat-diktat kuaci, manipulasi kealpaan hanya demi membantumu, tu(h)anku!
Dan aku tak bisa diam untuk itu!

Ardian, Februari 2009





Belajar Mengaji

3 03 2009

Alifbata kebodohan.
Kebisuan.
Kepalsuan.
Kemunafikan.
Penipuan.
Penindasan.
aku telah mengkhatammu hari ini.
Di hadapan mereka,
yang mengobralmu!

Ardian, Februari 2009





Analisis Novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis

17 02 2009

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

Tema

Dalam novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis ini dapat disimpulkan bahwa tema yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah kepemimpinan, yaitu mengenai kebobrokan dalam sifat seorang pemimpin. Dalam novel ini terdapat seorang tokoh antagonis bernama Wak Katok yuang selalu dimitoskan oleh pengikutnya, enam orang pencari damar, ketika mencari damar di hutan sebagai seorang yang dihormati, disegani, dan sakti. Pemitosan ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

“ Wak Katok dihormati, disegani, dan malahan agak ditakuti, karena termashur ahli pencak silat dan mahir sebagai dukun…. Diceritakan orang, sewaktu dia masih muda di pernah berpencak melawan seekor beruang dan mengalahkannya. Tentang ilmu sihirnya… orang hanya berani berbisik-bisik saja tentang ini. Kata orang dia dapat bertemu dengan hantu dan jin. (halaman 5).

Menurut cerita orang, jika bersilat, Wak Katok dapat membunuh lawannya, tanpa tangan, kaki, atau pisau mengenai lawannya. Cukup dengan gerakan tangan atau kaki saja yang ditujukan ke arah kepala, perut atau ulu hati (halaman 9).

Oleh karena selalu dimitoskan orang, sosok Wak Katok sudah tidak dapat diganggu gugat lagi sebagai pemimpin yang berwibawa. Ia memiliki segala kriteria untuk menjadi pemimpin, yaitu kekuatan, wibawa, dan satu lagi mitos. Mitos bahwa ia memang seorang pemimpin yang mumpuni seperti terlihat dalam kutipan di atas yang banyak menggunakan kata kata orang dan diceritakan. Msyarakat tak pernah dengan benar-benar melihat secara nyata apa yang diceritakan kepadanya mengenai sosok Wak Katok tersebut, tetapi mereka mempercayai cerita itu.

Namun, ketika masalah mulai muncul, yaitu saat seekor harimau tua “memburu” mereka ketika dalam perjalanan pulang dari mengumpulkan damar di hutan, mulai nampak oleh para pendamar, pengikut wak Katok akan kejanggalan-kejanggalan pemitosan terhadap Wak Katok. Seperti pada kutipan di bawah ini.

Sanip berjalan dengan diam…. hatinya gundah gulana…. Apa yang dapat mereka lakukan berempat dengan sebuah senapan tua Wak Katok? Meskipun hatinya agak terobati, karena diberi jimat baru oleh Wak Katok, akan tetapi keraguannya belum hilang. Tidakkah Pak Balam memakai jimat, juga Talib dan Sutan? Dan bukankah mereka juga diserang sampai mati? Tetapi dia mendiamkan bisikan hatinya yang tak percaya, karena ini lebih membesarkan kerusuhan hatinya (halaman 171).

Wak Katok sendiri sudah merasa khawatir kehilangan kepercayaan dari pengikutnya tersebut, terutama sejak kematian Pak Balam yang kemudian disusul Talib, dan juga Sutan. Oleh karena itu ia memutuskan untuk mengikuti saran Pak Haji untuk mencari kembali Sutan setelah diserang harimau, seperti dalam kutipan di bawah ini.

Dia akan lebih takut lagi jika namanya akan rusak di kampung, jika orang kampung akan tahu, bahwa dia takut….Dia harus tetap memelihara keseganan dan hormat orang kampung terhadap dirinya. Dia merasa tak dapat hidup, jika dia tidak lagi dihormati, disegani, dan dipuji-puji di kampung (halaman 165-166).

Demikianlah Wak Katok semakin takut dan pada akhirnya ciri-ciri kerapuhan dan kebobrokan diri seorang pemimpin yang tercermin pada diri Wak Katok mulai muncul. Sifat pengecut Wak Katok yang semula tak pernah diketahui oleh para pencari damar mulai terlihat dan yang mengejutkan bahwa Wak Katoklah yang karena ketakutannya, memperlihatkan kelemahannya sendiri seperti dalam kutipan di bawah ini.

Wak Katok terkejut. Wak katok seperti orang yang terpukau, mengangkat senapan ke bahunya, membidik, lama-lama, sepasang mata itu diam saja, seakan tak bergerak, dan kemudian Wak Katok menarik pelatuk senapan ….berbunyi tik! Senapan tak meletus. Buyung, Pak Haji, dan Sanip melemparkan kayu menyala, menghalau harimau. Beberapa saat setelah harimau pergi mereka terkejut melihat senapan terlempar ke tanah dan Wak Katok ….menggulungkan badannya di dalam pondok, seakan seorang yang ingin menyembunyikan dirinya ke perut bumi (halaman 191).

Puncak dari ketidakpercayaan terhadap sosok Wak Katok adalah ketika Sanip denga terang-terangan mengatakan kebobrokan dan kelemahan diri Wak Katok, pemitosan yang penuh dengan kepalsuan. Hal itu terlihat dalam kutipan di bawah ini.

“Inikah Wak Katok yang gagah perkasa itu, guru paling besar, dukun paling besar, guru silat yang paling pandai, pemimpin yang paling besar. Mengapa Wak Katok kini hendak bersembunyi ke dalam tanah? Engkau guru palsu. Lihat ini…. jimat-jimatmu palsu, mantera-manteramu palsu. Inilah jimat-jimat yang dipakai juga oleh Pak Balam, oleh Talib, oleh Sutan, lihatlah di mana mereka kini, karena mempercayai engkau… mereka telah mati, telah binasa. Engkau memaksa orang mengakui dosa-dosa, tetapi bagaiman dngan dosa-dosamu sendiri (halaman 192).

Akan tetapi pesan utama yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Mochtar Lubis adalah seperti kata Pak Haji saat menjelang kematiannya dalam kutipan di bawah ini.

“Orang yang berkuasa, jika dihinggapi ketakutan, selalu berbuat zalim… ingatlah hidup orang lain adalah hidup kalian juga… sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri…engkau tak dapat hidup sendiri… cintailah manusia… bunuhlah harimau dalam hatimu.”

Setting atau latar

Dalam novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis ini dapat ditemukan adanya setting tempat kejadian bagian-bagian dalam cerita seperti pada kutipan di bawah ini.

Di dalam hutan terdapat pula sumber-sumber nafkah hidup manusia, rotan, damar, dan berbagai bahan kayu (halaman 2).

Jika hujan turun sedang mereka berdua bekerja di hulu hutan, mereka pergi berteduh di dalam pondokyang dibuat dari daun-daun pisang hutan dan keladi (halaman 19).

Dari penggambaran setting tempat pada contoh di atas, nyata sekali terlihat bahwa setting tempat terjadi di hutan dan hulu hutan.

Setting waktu dalam cerita Harimau! Harimau! Karya Mochtar lubis dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

Tak seorang jua yang dapat sungguh-sungguh tidur sepanjang malam, dan ketika bunyi kokok ayam hutan yang berderai-derai menandakan dini hari telah dekat, mereka pun segera bangun (halaman 114).

Hari telah menjelang magrib ketika Buyung tiba di tempat mereka bermalam yang pertama dalam perjalanan pulang dari ladang Wak Hitam menuju ke kampung air jernih (halaman 69).

Dari kutipan di atas, dapat diambil latar waktu berupa sepanjang malam, dini hari, dan menjelang magrib. Ada banyak latar waktu yang terdapat dalam Novel tersebut, tetapi sebagai contoh, kiranya contoh dari kutipan di atas dapat mewakili.

Sementara itu terdapat pula setting fisik yang nampak pada kutipan di bawah ini.

Wak Katok berumur lima puluh tahun. Perawakannya kukuh dan keras, rambutnya masih hitam, kumisnya panjang dan lebat, otot-otot tangan dan kakinya bergumpalan. Tampangnya masih serupa orang yang baru berumur empat puluhan saja. Bibirnya penuh dan tebal, matanya bersinar tajam (halaman 3-4).

Dari penggambaran fisik pada kutipan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Wak Katok adalah lelaki tua berusia lima puluh tahun yang memiliki rambut yang masih berwarna hitam dan kumis yang panjang dan lebat, dengan bibir hitam dan tebal. Penggambaran seperti ini dapat memudahkan kita untuk menguatkan visualisasi Wak Katok sebagai dukun, misalnya dengan kumis yang panjang dan lebat dan bibrnya penuh dan tebal.

Setting sosial yang mendukung pencitraan cerita dalam novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

Talib dan Sanip sekali waktu tak dapat menahan diri. Ketika mereka yang muda-muda bersama-sama di hutan, dan orang-orang tua tak ada dekat-dekat, maka Talib dan Buyung atau Sanip mulai berbicara tentang kecantikan Siti Rubiyah.

“Aduh, coba kalau lakinya bukan Wak Hitam,” kata Talib.

“Aduh, coba kalau dia belum kawin,” tambah Buyung.

“Kemarin aku mimpikan dia,” tambah Sanip (halaman 31).

Dari kutipan di atas, terlihat adanya interaksi di antara Talib, Buyung, dan Sanip yang membicarakan Siti Rubiyah. Ini menandakan bahwa di dalam novel ini terdapat setting sosial.


Pemahaman dan Apresiasi terhadap Novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis

Mengenai novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis ini secara keseluruhan merupakan sebuah novel yang termasuk ke dalam jenis novel psikologis. Hal ini terlihat dalam keseluruhan novel yang banyak memuat aspek kejiwan dan konflik batin pada masing-masing tokoh, terutama ketika konflik mulai muncul, yaitu ketika harimau menerkam Pak Balam hingga tewas. Kemudian ketika masing-masing di antara mereka disuruh untuk mengakui setiap dosa-dosa mereka karena keyakinan bahwa harimau yang menerkam Pak Balam adalah harimau yang diturunkan Tuhan untuk menghukum mereka semua yang berdosa.

Sebagian besar kalangan berpendapat bahwa novel ini sebenarnya perlambangan tentang situasi politik Orde Lama yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Hal ini terlihat dari para tokoh yang ada dalam cerita ini mewakili hal tersebut dan dialog-dialog yang ada dalam cerita.

Misalnya, Wak Katok dan Pak Haji adalah tipe tokoh yang mudah sekali dikenali dalam masyarakat Indonesia. Wak Katok adalah pemimpin yang bermantera palsu (pidato-pidato), berjimat palsu, munafik, lalim dan menindas. Sedang Pak Haji adalah tipe pemimpin yang intelektual tetapi takut membela kebenaran. Tipe pemimpin intelektual ini biasanya tak berani bersuara menentang kezaliman, mengasingkan diri dari masalah bangsanya, dan lebih baik memikirkan keselamatan dirinya sendiri.

Sedangkan tokoh Buyung, tokoh muda usia, rupanya dipasang sebagai simbolik kaum muda Indonesia. Buyung adalah tokoh yang masih murni, bersemangaat dan penuh idealisme. Dan rupanya pengarang ada dipihak kaum muda ini. Dengan demikian jelas terlihat bahwa Mochtar Lubis secara sengaja mengambil setting rimba untuk memaparkan dan sekaligus mengecam tingkah laku pemimpin Indonesia (Sumardjo, 1991.)





Hello world!

17 02 2009

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!